Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 10 Agustus 2011

Seputar Ramadhan,Meninggalkan Puasa karena Beratnya Pekerjaan









Tanya:
Assalamu'alaikum wr.wb.

Ustad yang dirahmati Allah, saya mempunyai seorang tetangga yang bekerja sebagai buruh bangunan. Dia seorang Muslim. Namun tidak pernah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Ketika ditanya alasannya kenapa enggan berpuasa, dia menjawab tidak kuat dan tidak mampu karena pekerjaannya berat. Dalam kondisi tidak berpuasa saja ia mengaku berat melakukan tugasnya, apalagi dalam keadaan puasa.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana hukum meninggalkan puasa di bulan Ramadhan dengan uzur tak mampu berpuasa karena beratnya pekerjaan sebagaimana yang dilakukan tetangga saya itu? Lantas apa pula konsekuensi yang harus ia terima, apakah mengganti puasa atau denda?

Atas jawaban ustadz, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Abdul Majid
Batu Ceper, Tangerang, Banten.
Jawab:
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Pak Abdul Majid, jazakumullah atas doanya dan semoga bapak juga dirahmati Allah dan membalas kebaikan bapak yang sangat peduli dengan dakwah dan muslim khususnya tetangga bapak yang masih merasa berat menjalankan ibadah puasa.

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang nilainya sangat tinggi karena Allah sendiri yang menganugerahkan balasannya, sehingga bila tidak menjalankannya berarti orang kehilangan keutamaan yang besar. Ia merupakan kewajiban atas setiap muslim yang mukallaf, kecuali ia sakit atau musafir atau semakna dengan salah satu dari keduanya yang diberi rukhshah (keringanan) untuk berbuka, namun wajib mengqadhanya di hari yang lain. Pekerja keras bukan termasuk dalam kategori orang yang diringankan untuk berbuka puasa. Berat atau ringannya pekerjaan bukan sebab yang meringankan orang untuk berbuka.

Pekerja keras bila merasa berat menjalankan puasa, agar berusaha mencari pekerjaan lain yang memungkinkannya berpuasa dan mencari nafkah sekaligus atau waktu kerjanya dialihkan ke malam hari. Bila ia tidak menemukan pekerjaan ringan sedangkan ia wajib menafkahi dirinya dan keluarganya, maka ia harus mencoba dulu berpuasa dan wajib berniat puasa sejak malam hari, kemudian bekerja seperti biasa dalam kondisi berpuasa. Bersahurlah dengan porsi makanan yang menguatkan dan menjaga stamina tubuh.

Ketika ia mengalami kesulitan dan benar-benar tidak mampu melanjutkan puasa dengan isyarat tanda-tanda awal yang muncul pada fisiknya, seperti lemas sekali dan kehilangan tenaga, pada kondisi demikian ia boleh berbuka, namun wajib mengqadhanya di hari lain. Dalam kondisi tetap kuat berpuasa dan tidak mengalami kesulitan, maka wajib atasnya untuk meneruskan dan menyempurnakan puasanya hingga tenggelam matahari. 
Wallahu a'lam bishowab.

Ust. Dr. Tajuddin Pogo, MA

Seputar Ramadhan,Lalai Menjalankan Shalat, Apakah Batal?









Tanya:
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya mau tanya pak Ustad, saya pada hari pertama puasa ini tidak menjalankan shalat Dzuhur karena kelalaian saya, apa saya sudah membatalkan puasa saya? Terima Kasih.

Waalaikumsalam Wr. Wb.
Iqbal
Jawaban:
Waalaikumussalam wr.wb.
Saudara Iqbal yang dimuliakan Allah..
Shalat lima waktu dan puasa adalah sama-sama merupakan kewajiban bagi seorang Muslim untuk dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Jika puasa Anda memenuhi syarat dan rukunnya, maka puasa Anda tetap sah, namun Anda juga telah berdosa karena meninggalkan kewajiban sholat, sedangkan meninggalkan sholat termasuk dosa besar.

Menurut ijma' (kesepakatan) ulama mengqadha (mengganti) sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak sengaja hukumnya adalah wajib, dan hendaklah sholatnya diganti dengan segera, sebagaimana yang disampaikan oleh Mazhab yang 4 yaitu: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i.

Berikut di antara dalil tentang mengqadha sholat:
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata. 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berrsabda, "Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, hendaklah dia mengerjakannya ketika mengingatnya, tiada kafarat baginya kecuali yang demikian itu". Lalu beliau membaca firman Allah. "Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku". (HR al-Khamsah/Lima imam hadis).

Dalam riwayat Muslim disebutkan.  "Barangsiapa lupa shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya, maka kafaratnya ialah mengerjakannya selagi ia mengingatnya".

Dari dalil di atas Para Ulama yang mewajibkan qadha sholat mengatakan bahwa: Diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadha (mengganti) sholatnya, yang mana kedua orang tersebut dima'afkan dosanya karena mereka lupa dan tertidur, maka kewajibannya atas orang yang lalai karena kesengajaan atau karena menundanya mereka  jauh lebih layak untuk mengqadhanya. Dan hendaklah juga ia bertobat dari hal tersebut karena telah melalaikan sholatnya.

Makna Kafarat yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bukan karena dosa yang dilakukan, tapi makna kafarat di sini adalah bahwa karena meninggalkan shalat itu dia tidak bisa menggantikannya dengan yang lainnya, seperti memberi makan, memerdekakan budak atau  ketaatan lainnya. Akan tetapi dia tetap harus mengerjakan shalat itu.

Maka Anda mempunyai kewajiban untuk mengqadha  (mengganti) sholat zhuhur  yang anda tinggalkan karena kelalaian anda tersebut dengan segera.
Wallahu a'lam bishowab.
Ust. H. Zulhamdi M. Saad, Lc

Topik Ramadhan,Mencicipi Makanan Saat Berpuasa









Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Mau tanya Pak Ustadz, apa hukumnya mencicipi makanan pada waktu berpuasa? Mengingat pekerjaan saya sebagai seorang koki yang dituntut harus senantiasa mencicipi makanan. Terima kasih
Wassalam
Abdulllah
Jawaban:
Waalaikum'salam wr. wb.
Tidak mengapa bagi perempuan ataupun koki untuk mencicipi makanan, karena hal itu memang merupakan tugasnya untuk memasak dan menyediakan makanan. Namun perlu diperhatikan bahwa mencicipi makanan tersebut hanya sebatas ujung lidah saja dan tidak boleh ditelan, yaitu hanya untuk mengetahui rasanya saja, setelah itu hendaknya diludahkan kembali. Jika makanan tersebut sampai tertelan, maka batallah puasanya, dan dia harus menggantinya di hari yang lain.

Wallahu a'lam bishshawwab.

Wassalam
Ust. H. Zulhamdi M. Saad, Lc

Topik Ramadhan,Mandi Wajib Usai Hubungan Suami Istri di malam hari di Bulan Suci Ramadhan








Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb.

Pak Ustadz, meneruskan pertanyaan dari Ibu Indri, mengenai hubungan suami istri di malam ramadhan, bahwa Pak Ustadz mengatakan "Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 187, di mana ayat tersebut merupakan dalil diperbolehkannya untuk makan, minum dan melakukan hubungan suami istri sampai datangnya waktu fajar. Dan diwajibkan bagi mereka berdua untuk mandi sebelum melaksanakan shalat Shubuh."

Untuk memastikannya lagi Pak Ustadz, apakah mandi hadats ini harus dilakukan sebelum waktu imsak (sebelum dimulainya berpuasa), sebelum adzan Shubuh, atau sebelum melaksanakan shalat Shubuh? Terima kasih.

Wassalam

Lina Nurainy

Jawaban:
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ibu Lina Nurainy yang dirahmati Allah,
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1926) dan Imam Muslim (1109) dari Aisyah RA dan Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW mendapatkan waktu fajar, sedangkan beliau (Rasulullah) dalam keadaan junub di rumah keluarga beliau kemudian beliau mandi dan berpuasa.

Shalat Shubuh itulah yang mensyaratkan bagi orang yang junub untuk mandi wajib. Bila seseorang yang masih dalam keadaan hadats besar, lalu masuk waktu Shubuh, padahal dia sudah berniat untuk puasa, maka puasanya sah dan tidak batal.
Namun alangkah baiknya jika orang tersebut sudah mandi sebelum azan dan bersiap-siap untuk shalat Shubuh berjamaah di masjid bagi laki-laki, sehingga dia tidak tertinggal untuk mendapatkan pahala shalat dua rakaat sebelum shalat Shubuh, yang pahalanya lebih baik dari dunia dan seisinya serta mendapatkan pahala shalat Shubuh berjamaah di masjid. 

Sebagai tambahan pejelasan di sini, jika ada seorang yang bermimpi 'basah' di siang Ramadhan, puasanya tetap sah dan tidak batal, meskipun tidak langsung mandi wajib saat itu juga. Tetapi dia tetap wajib mandi saat akan melakukan shalat. 

Yang perlu dipahami adalah bahwa berhadats besar bukan termasuk syarat sah puasa, namun yang membatalkan puasa adalah bila seseorang secara sengaja melakukan hal-hal yang membuat dirinya berhadats besar pada saat ia sedang berpuasa. Misalnya berhubungan suami istri di siang Ramadhan. Dan jika hal ini terjadi, hukumannya sangat berat, yaitu ia harus membebaskan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 fakir miskin.

Adapun bila tidak sampai terjadi jima' (hubungan suami istri) , hanya percumbuan suami istri, tapi sampai inzal (keluar mani), barulah puasanya batal tanpa ada kewajiban membayar kafarat. Kewajibannya hanya mengqadha' (mengganti) puasanya yang batal saja.

Wallahu a'lam bishshawwab.

Wassalam
Ust. H. Zulhamdi M. Saad, Lc